PENGORBANAN AYAH
Senja merekah
menenggelamkan dunia. Matahari perlahan menghilang di ufuk barat. Dan gelap,
mulai merangkak pertanda malam akan segera tiba. Aku di sini, terpaku sendiri
di sudut kamar kos. Ada resah menyelubung, ada gundah yang membuncah.
Mungkinkah rasa tak menentu ini adalah sebuah pertanda? Atau mungkin hanya
sebuah rasa biasa yang tak ada artinya? Aku masih tetap terpaku, membisu. Pada
siapa pula aku harus bertanya? Sementara di rumah kos ini, hanya aku sendiri
penghuninya. Dan, sekeras apapun otakku berpikir, bermacam tanya yang
berjejalan dalam rongga kepalaku tetap tidak terpecahkan. Aku tak mengerti, apa
yang sebenarnya terjadi.
Ah, tiba-tiba
saja aku teringat pada Ayah. Keriput yang mulai menghiasi wajahnya, melintas
bagai halilintar dalam anganku. Imajinasiku melayang, mengingat kisah laluku di
waktu kecil bersamanya. Dulu, ketika aku bandel dan Ibu sering memukulku, Ayah
adalah orang pertama yang membelaku. Dulu, saat aku menangis karena Ibu tak
menuruti kemauanku, maka Ayah pula orang pertama yang menenangkanku. Dan ketika
tak seorang pun memepercayai ucapanku, maka Ayah adalah orang pertama yang
dengan ikhlas tersenyum dan berkata, “Nak, Ayah mempercayaimu. Ayah yakin, kamu
tidak bersalah dalam hal ini,”. Tiba-tiba saja kristal bening berloncatan dari
mataku. Aku merindukan masa-masa itu. Masa di mana aku dulu sangat dekat dengan
Ayah.
Ayah adalah
seorang pekerja keras. Hanya demi keluarga, ia rela pulang hingga larut, di
mana orang-orang telah terlelap dalam mimpi. Ya, waktu itu Ayah harus menyekolahkan
empat anaknya. Aku, dan ketiga kakakku. Tentu saja, perjuangan tersebut
bukanlah perjuangan mudah. Ayah harus bekerja keras membanting tulang demi
menghidupi keluarga. Meski lelah yang kuyakin begitu dirasakannya, namun setiap
saat tak pernah kulihat wajahnya mengguratkan kesedihan. Ia senantiasa
menyunggingkan senyum yang membuat hatiku damai. Ah Ayah, aku merindukanmu.
Teramat sangat merindukanmu.
Ayahku
bukanlah seorang pekerja kantoran apalagi pejabat negara. Semenjak aku membuka
mata dan mulai mengenal dunia, Ayahku yang kukenal hanyalah seorang pedagang
ayam kampung. Jika sore menjelang, sekitar pukul tiga Ayah pergi dari rumah.
Menelusuri jalan setapak menyambangi satu rumah ke rumah lainnya hanya untuk
menanyakan barangkali ada orang yang mau menjual ayam peliharaannya. Perjalanan
Ayah yang cukup jauhlah yang membuat Ayah seringkali pulang malam. Bayangkan
saja, setiap harinya Ayah bisa menelusuri tiga sampai empat desa sekaligus. Dan
hal tersebut ditempuhnya hanya dengan berjalan kaki.
Meski malamnya
Ayah pulang hingga larut, pagi harinya Ayah masih harus pergi ke pasar untuk
menjual ayam-ayam yang didapat kepada seorang pengepul. Subuh hari Ayah sudah
harus berangkat dari rumah. Sebab, jarak rumah ke pasar cukup jauh. Jika mau ke
pasar, Ayah harus naik angkutan umum agar tidak terlambat. Sementara untuk bisa
mendapat angkutan umum, dari rumah ke jalan raya Ayah harus menempuh jarak lima
kilometer terlebih dahulu. Jalanan yang dilalui bukanlah jalanan aspal yang
lurus, melainkan melalui sungai, pematang sawah, serta jalanan yang naik turun.
Terlebih jika musim penghujan datang. Maka jalanan yang harus dilalui tentu
menjadi licin dan becek. Butuh perjuangan keras untuk dapat sampai ke tempat
tujuan dengan tidak terlambat.
Ayahku memang
bukanlah tipe orang yang hanya berpangku tangan pasrah terhadap nasib. Dengan
segala daya upaya, Ayah selalu berusaha menyenangkan kami dan memenuhi
kebutuhan kami. Dulu, aku mungkin boleh merasa senang karena memiliki Ayah
hebat seperti Ayahku. Meski aku tahu bahwa kami terlahir bukan dari anak orang
kaya, namun entah bagaimana caranya Ayah selalu membelikan barang yang kami
mau. Padahal, jika dipikir secara logika, keuntungan Ayah dari berjual beli
ayam tidaklah seberapa. Belum lagi untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, untuk
biaya sekolah kami dan keperluan lainnya.
Pernah, aku
sangat ingin memiliki sepeda. Melihatku yang seringkali hanya bisa menyaksikan
teman-temanku bermain sepeda, Ayah pun berusaha untuk membelikanku sepeda. Aku
merasa sangat bahagia karena akhirnya keinginanku untuk bisa bersepeda layaknya
teman-teman lain pun kesampaian. Tentu saja awalnya aku belumlah bisa bersepeda
karena selama itu aku hanya mampu menyaksikan teman-teman bersepeda dari
kejauhan tanpa pernah mencoba. Karenanya, Ayahlah yang senantiasa meluangkan
waktunya untuk mengajariku bersepeda sepulangnya dari pasar. Kutahu betapa
lelahnya ia yang baru saja pulang dari pasar dengan keringat bercucuran masih
harus mengajariku naik sepeda. Meski demikian, tak pernah sekali pun Ayah mengeluh.
Dengan setia Ayah selalu mengikutiku dari belakang karena khawatir terjadi
apa-apa denganku. Maka ketika aku terajatuh dari sepeda, Ayah adalah orang
pertama yang begitu panik melihatku terguling ke tepian jalan. Dengun rengkuhan
tangannya yang kokoh, Ayah membopongku yang waktu itu baru berusia sepuluh
tahun. Ah Ayah, aku membayangkan andai saja kini aku bisa kembali menikmati
kebersamaan itu. Aku pasti takkan pernah menyia-nyiakannya.
***
“Nak, Ayah
sakit. Dua hari ini Ayah hanya terbaring di tempat tidur,” suara Ibu di ujung
telepon membuatku tersentak. Dengan mata berlinang, kujatuhkan handhpone ke
lantai, tubuhku melunglai seketika. Rekaman memori tentang Ayah memenuhi rongga
kepalaku. Teringat ketika ia pulang hingga menjelang pagi, namun tak seekor
ayam pun Ayah dapatkan. Lalu, pernah tangan kanannya patah tulang karena
terjatuh dan hingga tiga bulan lamanya tangan Ayah harus digips. Namun, sungguh
luar biasa perjuangan Ayah. Dengan keadaan seperti itu Ayah masih saja bekerja.
Setiap harinya ia masih menjalani rutinitas seperti biasanya, menelusuri
rumah-rumah warga untuk mencari ayam-ayam yang akan dijual meski seringkali
usahanya sama sekali tidak membuahkan hasil.
Air mataku
semakin menderas mengingat semua perjuangan Ayah yang penuh dengan rintangan.
Perjuangan untuk tetap bertahan hidup dan mampu menghidupi keluarga. Perjuangan
agar kami tetap bisa makan meski ia sendiri kelaparan. Ayah, aku bangga
memilikimu, aku bangga menjadi anakmu.
Ayah, kini
ragaku ragamu tak lagi bersanding pada tempat yang sama. Wujudmu pun tak bisa
senantiasa kutatap setiap harinya. Karena ruang dan waktu kini memisahkan kita.
Sementara potret dirimu pun aku tak memiliknya. Ayah, aku merindukanmu,
merindukan ketulusan sayang yang kauberikan, merindukan dekap hangat tubuhmu
yang beberapa tahun terakhir tidak pernah lagi aku rasakan. Ya, kedewasaan yang
seiring berjalan mengikuti waktu tentu membuatku harus bisa hidup mandiri,
dengan mencari penghidupan sendiri. Dulu, tak pernah aku berpikir bagaimana
susahnya engkau mencari uang untuk memenuhi segala inginku. Tak pernah pula
terpikir olehku betapa rasa lelah seringkali harus menguras tenaga dan
pikiranmu. Yang aku tahu, aku mau keinginanku selalu terpenuhi. Maafkan aku,
Ayah. Maafkan aku yang membuatmu harus bekerja keras. Di sini, kini aku
merasakan betapa susahnya berjuang mempertahankan hidup. Betapa susahnya
mencari uang. Betapa lelahnya bekerja siang malam.
Ayah, andai
saja waktu bisa kembali terulang, maka aku takkan banyak menuntut seperti dulu.
Menuntut untuk membeli barang-barang yang sebenarnya tidak begitu kuperlukan.
Menuntut banyak hal yang mungkin di luar batas kesanggupanmu, sehingga
membuatmu harus menanggung hutang karenanya. Dan semua itu, baru sekarang aku
mengetahuinya. Sekali lagi, dari hati yang paling dalam aku meminta maaf, Ayah.
Maafkan jika aku belum mampu membahagiakanmu. Maafkan jika hanya derita yang
justru kupersembahkan. Aku berjanji, meski jalan yang kulalui berliku dan penuh
kerikil tajam yang menghadang, aku akan tetap semangat menjalani hidup. Aku
akan terus berjuang seperti engkau dulu berjuang membesarkan serta mencukupi
semua kebutuhanku. Meski mungkin sekarang belum saatnya aku mendapatkan apa
yang aku cita-citakan, tapi suatu saat aku yakin, jika waktunya tiba keindahan
akan nyata di depan mata. Seperti ucapan yang sering kaubisikkan di telingaku.
“Abaikan semua ucapan orang yang dapat mematahkan semangatmu, dan menataplah ke
depan untuk meraih esok yang lebih baik. Barang siapa bekerja keras dan tak
lelah berjuang, maka ia akan mendapatkan balasannya,” begitulah kata Ayah yang
selalu menjadi motivasiku dalam menjalani hidup.
Ya, seperti
yang telah kuuraikan. Ayah tak pernah mengenal lelah dalam berjuang. Meski
terik matahari memanggang dan hujan mengguyur, semua tidak pernah dijaidikannya
penghalang untuk tetap melangkah. Berusaha untuk selalu menjadi lebih baik dari
waktu ke waktu.
Bersama melodi
senja yang menyemarakkan dunia, aku memanjatkan pinta pada penguasa semesta
yang berkuasa atas hidup dan mati umat manusia, semoga Ayah senantiasa dalam
naungan rahmat-Nya.Aku terus melihat ayah dengan sebal saat dia melambaikan
tangannya pagi itu untuk berangkat berdagang sayuran di pasar. Aku benar-benar
menyesal telah dilahirkan dari rahim seorang wanita berkeluarga miskin. Sekitar
lima bulang lalu, ibu pergi untuk selama-lamanya. Saat kepergian ibu, sama
sekali tidak ada air mata yang menetes dari mataku. Aku benar-benar benci
keluarga miskin ini! ucapku dalam hati. Setelah ayah sudah berbelok, aku
langsung berangkat sekolah. Bagaimanapun juga, aku tidak ingin terlihat bareng
dengan pedagang sayur itu.
Di sekolah
seperti biasanya. Saat istirahat aku hanya duduk diam di kelas. Aku sama sekali
tidak dikasih uang jajan. Penghasilan ayah yang pas-pasan setiap harinya, hanya
bisa untuk beli makan untuk di rumah saja. Bekal pun tidak ada. Aku rasa Tuhan
tidak adil! Aku benar-benar muak dengan hidupku sekarang! Ingin sekali rasanya
aku kabur dari rumah dan mencari keluarga baru yang kaya raya. Tapi aku rasa
itu tidak mungkin. Ongkos untuk kabur pun aku tidak punya.
Saat pulang
sekolah, ayah sudah pulang duluan. Kulihat ayah memandangi foto ibu yang telah
usang. “Dia itu udah mati! Percuma kalo foto diliatin gitu juga nggak bakal
ngebuat dia hidup lagi!” teriakku kemudian langsung masuk ke kamar dan
membanting pintu kesal. Terdengar suara tangisan ayah. Tapi aku sudah tidak
peduli lagi. Aku kemudian tidur sambil menutup kepalaku dengan bantal gepeng
yang usang.
***
“Dasar anak
tukang sayur! Udah miskin sok ngatur-ngatur lagi lo! Pergi lo dari kelompok
gue!” teriak Metha, salah satu temanku, dia memang anak orang kaya. Kemudian
aku pergi dari mejanya. Percuma juga jika aku meladeni bentakannya itu, yang
ada teman-teman pasti akan menertawaiku karena ucapan Metha yang
menjelek-jelekkanku. Aku pun tidak akan menangis dengan ucapan Metha tadi.
Ucapan-ucapan seperti tadi sudah menjadi makanan sehari-hariku. Yah, beginilah
kehidupanku. Penuh dengan ejekan. Semua ini karena keluargaku yang miskin! Aku
benar-benar stress karena kemiskinan!
“Heh! Ganti
pekerjaan kek, Bapak! Aku malu denger semua ocehan temen-temen! Mereka selalu
bilang kalo aku anak tukang sayur! Aku malu, Pak! Malu!” teriakku pada ayah
sepulang sekolah.
“May, udah
sepuluh tahun Bapak kerja seperti ini. ini memang sudah pekerjaan Bapak, May.
Mana mungkin bapak menggeluti pekerjaan lain. Bapak juga tidak punya keahlian,
May. Maafkan Bapak” sahut ayah sambil menangis. Aku benci ucapan ayah itu!
Bukan itu yang aku mau!
“Bodo amat!
Pokoknya Bapak nggak boleh jadi tukang sayur lagi!” bentakku kemudian masuk ke
kamar dan membanting pintu. Di kamar aku menangis. Meratapi nasibku ini. Kenapa
buruk nasibku ini? aku benci! Aku benci semuanya!
Paginya
kulihat ayah duduk di depan. Dia tidak pergi ke pasar hari ini. “Pak? Nggak
jualan?” tanyaku. Ayah kemudian tersenyum padaku. “Bapak udah nggak jualan
sayur, May. Kamaren kan kamu yang bilang supaya Bapak nggak jualan sayur.
Sekarang Bapak jualan koran. Dan sebentar lagi juga Bapak berangkat” ucap ayah
kemudian. “Ish, dasar! Maksud gue nggak usah jualan sayur, ya jangan jualan
koran! Jadi insinyur kek! Biar kita kaya! Kaya raya, Pak!” bentakku kemudian.
Ayah menundukkan kepalanya. Sebal melihat ayah, aku langsung pergi untuk berangkat
sekolah. Kemudian ayah memegang pundakku dan menyodorkan tangannya. Aku sudah
kesal dengan ayah bego itu! Aku tetap pergi tanpa salim padanya. Aku benci dia!
***
Tiga bulan
kemudian, ayah berganti pekerjaan sebagai tukang koran. Sama saja! Hidupku
tidak berubah sama sekali. Sama seperti dulu. Tidak dapat uang jajan, jarang
makan dan tidak ada uang untuk kabur dari rumah! aku benar-benar stress ada di
rumah! mau pergi juga pergi kemana? Aku sama sekali tidak ada uang. Bosan
sekali aku di rumah ini!
Ayah pulang
kemudian duduk di kursi sambil mengelap mukanya yang bercucuran peluh. “May,
tolong ambilin Bapak minum. Bapak capek sekali, May” ucap ayah kemudian. “Heh!
Enak aja nyuruh-nyuruh lo! Kalo haus, ya ambil minum sendiri! Punya kaki kan?
Kalo Bapak nggak punya kaki, baru aku ambilin!” teriakku kemudian pergi
meninggalkan ayah sendiri. Kemudian aku pergi keluar rumah. Aku duduk duduk di
kursi depan. Sebal rasanya aku dengan ayah. Sudah miskin, sok jadi raja lagi!
Minum saja minta ambilin! Punya kaki kenapa harus minta ambilin?! Dasar ayah
tidak berguna! Ucapku dalam hati dengan kesalnya.
Besoknya
tiba-tiba ayah pulang dengan babak belur. Ayah meringis kesakitan sambil
memegang lukanya. Kemudian aku menghampirinya dan bertanya, “kenapa, Pak?”. “Bapak
tadi berantem, May. Ada orang yang mengambil barang berharga punya Bapak” jawab
ayah sambil meringis kesakitan. “Ish! Ngapain coba pake berantem segala?! Kayak
anak kecil aja! rebutan barang lagi! Anak kecil banget tau nggak!” bentakku
benar-benar sebal. Dasar orang tua! Sudah tua bukannya banyak nyari uang, malah
berantem kayak anak kecil! Bentakku dalam hati. Ih! Aku benar-benar kesal
dengan ayah! Sudah tua, miskin, kerjanya hanya merepotkan saja! Rasanya aku
ingin cepat kabur dari rumah ini! Rumah gubug ini!
Malam harinya,
terbelesit pikiran nakalku. Aku tau bagaimana cara kabur dari rumah kali ini.
aku berjinjit masuk pelan ke kamar ayah. Kulihat ayah sedang duduk di kursi
depan. Saat di kamar ayah, aku langsung mengobrak-abrik lemari baju ayah. Kucari-cari
sesuatu itu. Dan akhirnya... ya! Aku berhasil mendapatkannya! Uang itu, uang
untuk kabur itu. Aku berhasil mendapatkannya. Selamat tinggal miskin! Ucapku
dalam hati sambil tertawa tidak bersuara. Kemudian kumasukan uang itu ke dalam
saku baju. Aku bergegas keluar dari kamar ayah. Saat hendak keluar, tiba-tiba
ayah sudah ada di depanku. Aku terkejut melihatnya.
“Kamu kenapa
ke kamar Bapak?” tanya ayah padaku. Aku memikir-mikir alasan apa yang masuk
akal.
“Emangnya
nggak boleh apa ke kamar Bapak?! Miskin aja pake rahasia-rahasian segala! Dasar
miskin!” bentakku kemudian. Aku segera masuk ke dalam kamar.
Ku
hitung-hitung, uangnya berjumlah empat puluh lima ribu. Untuk apa ayah
menyimpan uang sebanyak ini? dasar!. Aku berencana, nanti pagi-pagi sekali
pergi dari rumah ini. niatku sudah mantab! Aku akan pergi dari kemiskinan ini!
pergi dari ayah yang tidak berguna itu! Ucapku dalam hati dengan mantabnya.
Pagi-pagi
sekali aku sudah bersiap. Saat hendak keluar kamar, tiba-tiba ada perasaan
tidak enak. Aku tidak tau kenapa begitu. Hatiku ini, seperti bilang jangan
pergi. Aku takut jika nanti terjadi apa-apa dengan diriku. Setelah lama dilema,
akhirnya aku putuskan untuk tidak jadi pergi dari rumah. uang ini, lebih baik aku
simpan sendiri saja. Cukup untukku membeli baju. Apalagi.. sebenatar lagi hari
ulangtahunku. Aku juga ingin bersenang-senang di hari ulangtahunku. Akhirnya
aku menyimpan kembali uang itu. Dan tidak jadi pergi dari rumah. sangat
kusesali juga. Tapi.. yasudahlah, mungkin memang ini belum waktunya untuk kabur
dari rumah.
***
Seminggu
kemudian, tepat di hari ulangtahunku, aku berdandan serapih mungkin. Hari ini
aku akan pergi ke pasar untuk membeli baju dengan memakai uang yang ku simpan
itu. Saat di perjalanan, tiba-tiba salah seorang tetanggaku menghampiriku dan
berkata, “May, May tunggu! Jangan pergi dulu! Emm.. heh.. emm.. anu...
Bapakmu.. heh.. Bapakmu.. kec.. kecelakaan!”. Aku terkejut dengan ucapan itu.
Entah kenapa aku sedih dengan ucapan tetanggaku itu. Seharusnya aku senang
karena ayah kecelakaan! Jadi tidak ada yang merepotkanku lagi. Tidak ada wajah
yang menjengkelkan aku lagi. Tapi kali ini.. aku malah sedih. Saat diajak
menengok ayah pun aku mengikuti. Kenapa ini? tanyaku pada diri sendiri.
Air mataku
menetes saat melihat ayah terbaring di kasur rumah sakit. Lukanya ada
dimana-mana. Diselimutnya, masih terbekas darah segar bekas darah ayah. Aku
langsung menghampiri ayah. Air mataku terus mengalir sedih. Entah mengapa, aku
kasian melihat ayah terbaring seperti ini. Memeluknya.. aku malu sekali
melakukan itu. Padahal aku sangat ingin melakukan itu.
Sejam
kemudian, ayah sadar. Kemudian dipanggil-panggilnya namaku. Aku pun segera
menghampiri ayah. “May, coba tolong liatin kaki Bapak. Bapak merasa tidak
nyaman, May. Bapak bener-bener minta tolong kali ini” pinta ayah kepadaku.
Kemudian, kubuka selimut ayah dan betapa terkejutnya aku. Kaki ayah.. kaki
ayah.. kaki ayah hanya tinggal sedengkul. Kaki ayah ternyata diamputasi. Ayah
tidak punya kaki lagi sekarang. Air mataku kembali mengalir saat melihat
keadaan kaki ayah sekarang. Tanpa malu, aku langsung memeluk ayah. Sakit hati
ini memeluknya. Mengingat perlakuanku kepadanya dulu.
“May, Bapak
haus. Tolong ambilkan minum untuk Bapakmu ini, Nak. Kamu sendiri yang bilang
kan, jika Bapak tidak punya kaki, kamu yang akan mengambilkan minum untuk
Bapak. Sekarang.. Bapak tidak punya kaki lagi, May. Tolong ambilkan minum untuk
Bapak, Nak” ucap ayah menangis. Melihat ayah menangis, aku pun jadi ikut
menangis. Kemudian kuambilkan minum ke meja. Hatiku kembali sakit mendengar
perkataan ayah barusan. Ayah benar. Dulu aku memang pernah berkata seperti itu.
Sekarang, aku benar-benar sedih mengingat kata-kataku dulu itu pada ayah.
Ayah kemudian
memegang tanganku erat. Kemudian disuruhnya aku mengambil sesuatu di bawah
tempat tidur ayah. Saat kulihat, ada baju disana.
“Untuk siapa
ini, Pak?” tanyaku kemudian bingung.
“Itu..
untuk..mu, May. Se.. selamat ulangta... hun ya, May. Maaf se... kali karena
Bapak hanya bi.. bisa memberi itu untuk... mu” jawab ayah terbata-bata. Aku
kembali menangis mendengar ucapan ayah. Kemudian aku peluk ayah dengan erat.
Kuucapkan terima kasih pada yah.
“Se..
sebenarnya, uang ya.. ng kamu ambil wak... tu it.. tu, mau Bapak ku.. pulkan
un.. untuk membeli kado un.. untukmu, Nak. Bapak ta..u karena saat Bapak li...
at lemari, u... uang itu sudah ti.. tidak ada” ucap ayah lagi. Kemudian aku
merasa bersalah dengan ayah.
“Maapin aku,
Pak. Aku nggak tau kalo uang itu untuk beli kado buat ulangtahunku. Maap, Pak”
ucapku malu. Ayah hanya tersenyum padaku. Kemudian dipeluknya aku. Aku sangat
merasa bersalah pada ayah. Kenapa aku.. bisa dengan gampangnya berlaku tidak
sopan pada ayah dulu? Kelakuanku.. sama saja dengan setan! Aku pun mengumpat
diriku sendiri.
Setelah
beberapa jam di rumah sakit, kemudian ayah memanggilku lagi. Aku segera berdiri
dari kursi tunggu dan mendekati ayah. Kemudian ayah berkata.
“Jaga dirimu
baik-baik, May. Maaf karena Bapak tidak bisa menemanimu selamanya. Untuk
kedepannya, Bapak akan menemani ibumu disana, May. Di tempat yang jauh itu.
Bapak sudah memaafkan semua kesalahanmu. Semua kata-kata kasar darimu, May.
Karena Bapak tau, kamu bersikap begitu karena Bapak juga yang hidup miskin
begini. Sekarang, kamu bisa tenang tanpa Bapak, May. Bapak sangat menyayangimu.
Semoga nantinya kamu bisa tumbuh sebagai wanita yang soleha, May”. Setelah
berucap kemudian ayah tersenyum padaku. Sebelum akhirnya... dia memejamkan
matanya dengan kedamaian.
“Bapakk!!!!
Bapak!!! Jangan tinggalin May, Pak!!! Bangun, Pak!!!! May takut sendirian,
Pak!!! May minta maap dengan semua kata-kata May, Pak!!!!! Bapak bangun!!!!!
Bapakkkk!!!!!!” teriakku sambil menggoyang-goyangkan tubuh ayah. Tapi ayah
sudah tidak mendengar teriakanku lagi. Dia tetap tertidur. Dia diam tidak
bergeming. Aku menangis. Kemudian teringat kembali saat aku mengatakan
kata-kata kasar kepada ayah. Ayah yang selama ini ternyata selalu menyayangiku.
Ini ulangtahun terakhirku bagi ayah. Dan dihari ulangtahun ini, terakhir
kalinya aku melihat ayah. Kado terakhir ini... akan aku kenang sampai aku mati.
Bapak, maafkan aku, ucapku dalam hati. Tak kuasa aku menahan tangis ini. Ayah
sudah tidur untuk selama-lamanya.
Pertama mendengar
suara tangisanmu, sujud sukurku pada-Nya..
Pertama kali
menggendongmu, hati ini begitu terasa senang..
Pertama kali
melihatmu tumbuh, aku berdoa pada-Nya..
Berdoa semoga kau
jadi anak yang berguna, Nak..
Semua akan ku
korbankan demi dirimu..
Walau nyawaku
sekalipun, akan kukorbankan untukmu..
Untuk membuatmu
senang..
Melihat senyummu,
sangat membuat hidupku berarti..
Melihat air matamu,
membuat duniaku ikut bersedih..
Nak, isilah
hari-harimu dengan senyum dan tawa..
Aku menyayangimu,
anakku...
Selamanya akan
tetap menyayangi dirimu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar