Cerpen Idolaku

PENGORBANAN AYAH

Senja merekah menenggelamkan dunia. Matahari perlahan menghilang di ufuk barat. Dan gelap, mulai merangkak pertanda malam akan segera tiba. Aku di sini, terpaku sendiri di sudut kamar kos. Ada resah menyelubung, ada gundah yang membuncah. Mungkinkah rasa tak menentu ini adalah sebuah pertanda? Atau mungkin hanya sebuah rasa biasa yang tak ada artinya? Aku masih tetap terpaku, membisu. Pada siapa pula aku harus bertanya? Sementara di rumah kos ini, hanya aku sendiri penghuninya. Dan, sekeras apapun otakku berpikir, bermacam tanya yang berjejalan dalam rongga kepalaku tetap tidak terpecahkan. Aku tak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi.

Ah, tiba-tiba saja aku teringat pada Ayah. Keriput yang mulai menghiasi wajahnya, melintas bagai halilintar dalam anganku. Imajinasiku melayang, mengingat kisah laluku di waktu kecil bersamanya. Dulu, ketika aku bandel dan Ibu sering memukulku, Ayah adalah orang pertama yang membelaku. Dulu, saat aku menangis karena Ibu tak menuruti kemauanku, maka Ayah pula orang pertama yang menenangkanku. Dan ketika tak seorang pun memepercayai ucapanku, maka Ayah adalah orang pertama yang dengan ikhlas tersenyum dan berkata, “Nak, Ayah mempercayaimu. Ayah yakin, kamu tidak bersalah dalam hal ini,”. Tiba-tiba saja kristal bening berloncatan dari mataku. Aku merindukan masa-masa itu. Masa di mana aku dulu sangat dekat dengan Ayah.
Ayah adalah seorang pekerja keras. Hanya demi keluarga, ia rela pulang hingga larut, di mana orang-orang telah terlelap dalam mimpi. Ya, waktu itu Ayah harus menyekolahkan empat anaknya. Aku, dan ketiga kakakku. Tentu saja, perjuangan tersebut bukanlah perjuangan mudah. Ayah harus bekerja keras membanting tulang demi menghidupi keluarga. Meski lelah yang kuyakin begitu dirasakannya, namun setiap saat tak pernah kulihat wajahnya mengguratkan kesedihan. Ia senantiasa menyunggingkan senyum yang membuat hatiku damai. Ah Ayah, aku merindukanmu. Teramat sangat merindukanmu.

Ayahku bukanlah seorang pekerja kantoran apalagi pejabat negara. Semenjak aku membuka mata dan mulai mengenal dunia, Ayahku yang kukenal hanyalah seorang pedagang ayam kampung. Jika sore menjelang, sekitar pukul tiga Ayah pergi dari rumah. Menelusuri jalan setapak menyambangi satu rumah ke rumah lainnya hanya untuk menanyakan barangkali ada orang yang mau menjual ayam peliharaannya. Perjalanan Ayah yang cukup jauhlah yang membuat Ayah seringkali pulang malam. Bayangkan saja, setiap harinya Ayah bisa menelusuri tiga sampai empat desa sekaligus. Dan hal tersebut ditempuhnya hanya dengan berjalan kaki.
Meski malamnya Ayah pulang hingga larut, pagi harinya Ayah masih harus pergi ke pasar untuk menjual ayam-ayam yang didapat kepada seorang pengepul. Subuh hari Ayah sudah harus berangkat dari rumah. Sebab, jarak rumah ke pasar cukup jauh. Jika mau ke pasar, Ayah harus naik angkutan umum agar tidak terlambat. Sementara untuk bisa mendapat angkutan umum, dari rumah ke jalan raya Ayah harus menempuh jarak lima kilometer terlebih dahulu. Jalanan yang dilalui bukanlah jalanan aspal yang lurus, melainkan melalui sungai, pematang sawah, serta jalanan yang naik turun. Terlebih jika musim penghujan datang. Maka jalanan yang harus dilalui tentu menjadi licin dan becek. Butuh perjuangan keras untuk dapat sampai ke tempat tujuan dengan tidak terlambat.

Ayahku memang bukanlah tipe orang yang hanya berpangku tangan pasrah terhadap nasib. Dengan segala daya upaya, Ayah selalu berusaha menyenangkan kami dan memenuhi kebutuhan kami. Dulu, aku mungkin boleh merasa senang karena memiliki Ayah hebat seperti Ayahku. Meski aku tahu bahwa kami terlahir bukan dari anak orang kaya, namun entah bagaimana caranya Ayah selalu membelikan barang yang kami mau. Padahal, jika dipikir secara logika, keuntungan Ayah dari berjual beli ayam tidaklah seberapa. Belum lagi untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, untuk biaya sekolah kami dan keperluan lainnya.
Pernah, aku sangat ingin memiliki sepeda. Melihatku yang seringkali hanya bisa menyaksikan teman-temanku bermain sepeda, Ayah pun berusaha untuk membelikanku sepeda. Aku merasa sangat bahagia karena akhirnya keinginanku untuk bisa bersepeda layaknya teman-teman lain pun kesampaian. Tentu saja awalnya aku belumlah bisa bersepeda karena selama itu aku hanya mampu menyaksikan teman-teman bersepeda dari kejauhan tanpa pernah mencoba. Karenanya, Ayahlah yang senantiasa meluangkan waktunya untuk mengajariku bersepeda sepulangnya dari pasar. Kutahu betapa lelahnya ia yang baru saja pulang dari pasar dengan keringat bercucuran masih harus mengajariku naik sepeda. Meski demikian, tak pernah sekali pun Ayah mengeluh. Dengan setia Ayah selalu mengikutiku dari belakang karena khawatir terjadi apa-apa denganku. Maka ketika aku terajatuh dari sepeda, Ayah adalah orang pertama yang begitu panik melihatku terguling ke tepian jalan. Dengun rengkuhan tangannya yang kokoh, Ayah membopongku yang waktu itu baru berusia sepuluh tahun. Ah Ayah, aku membayangkan andai saja kini aku bisa kembali menikmati kebersamaan itu. Aku pasti takkan pernah menyia-nyiakannya.
***

“Nak, Ayah sakit. Dua hari ini Ayah hanya terbaring di tempat tidur,” suara Ibu di ujung telepon membuatku tersentak. Dengan mata berlinang, kujatuhkan handhpone ke lantai, tubuhku melunglai seketika. Rekaman memori tentang Ayah memenuhi rongga kepalaku. Teringat ketika ia pulang hingga menjelang pagi, namun tak seekor ayam pun Ayah dapatkan. Lalu, pernah tangan kanannya patah tulang karena terjatuh dan hingga tiga bulan lamanya tangan Ayah harus digips. Namun, sungguh luar biasa perjuangan Ayah. Dengan keadaan seperti itu Ayah masih saja bekerja. Setiap harinya ia masih menjalani rutinitas seperti biasanya, menelusuri rumah-rumah warga untuk mencari ayam-ayam yang akan dijual meski seringkali usahanya sama sekali tidak membuahkan hasil.

Air mataku semakin menderas mengingat semua perjuangan Ayah yang penuh dengan rintangan. Perjuangan untuk tetap bertahan hidup dan mampu menghidupi keluarga. Perjuangan agar kami tetap bisa makan meski ia sendiri kelaparan. Ayah, aku bangga memilikimu, aku bangga menjadi anakmu.

Ayah, kini ragaku ragamu tak lagi bersanding pada tempat yang sama. Wujudmu pun tak bisa senantiasa kutatap setiap harinya. Karena ruang dan waktu kini memisahkan kita. Sementara potret dirimu pun aku tak memiliknya. Ayah, aku merindukanmu, merindukan ketulusan sayang yang kauberikan, merindukan dekap hangat tubuhmu yang beberapa tahun terakhir tidak pernah lagi aku rasakan. Ya, kedewasaan yang seiring berjalan mengikuti waktu tentu membuatku harus bisa hidup mandiri, dengan mencari penghidupan sendiri. Dulu, tak pernah aku berpikir bagaimana susahnya engkau mencari uang untuk memenuhi segala inginku. Tak pernah pula terpikir olehku betapa rasa lelah seringkali harus menguras tenaga dan pikiranmu. Yang aku tahu, aku mau keinginanku selalu terpenuhi. Maafkan aku, Ayah. Maafkan aku yang membuatmu harus bekerja keras. Di sini, kini aku merasakan betapa susahnya berjuang mempertahankan hidup. Betapa susahnya mencari uang. Betapa lelahnya bekerja siang malam.
Ayah, andai saja waktu bisa kembali terulang, maka aku takkan banyak menuntut seperti dulu. Menuntut untuk membeli barang-barang yang sebenarnya tidak begitu kuperlukan. Menuntut banyak hal yang mungkin di luar batas kesanggupanmu, sehingga membuatmu harus menanggung hutang karenanya. Dan semua itu, baru sekarang aku mengetahuinya. Sekali lagi, dari hati yang paling dalam aku meminta maaf, Ayah. Maafkan jika aku belum mampu membahagiakanmu. Maafkan jika hanya derita yang justru kupersembahkan. Aku berjanji, meski jalan yang kulalui berliku dan penuh kerikil tajam yang menghadang, aku akan tetap semangat menjalani hidup. Aku akan terus berjuang seperti engkau dulu berjuang membesarkan serta mencukupi semua kebutuhanku. Meski mungkin sekarang belum saatnya aku mendapatkan apa yang aku cita-citakan, tapi suatu saat aku yakin, jika waktunya tiba keindahan akan nyata di depan mata. Seperti ucapan yang sering kaubisikkan di telingaku. “Abaikan semua ucapan orang yang dapat mematahkan semangatmu, dan menataplah ke depan untuk meraih esok yang lebih baik. Barang siapa bekerja keras dan tak lelah berjuang, maka ia akan mendapatkan balasannya,” begitulah kata Ayah yang selalu menjadi motivasiku dalam menjalani hidup.
Ya, seperti yang telah kuuraikan. Ayah tak pernah mengenal lelah dalam berjuang. Meski terik matahari memanggang dan hujan mengguyur, semua tidak pernah dijaidikannya penghalang untuk tetap melangkah. Berusaha untuk selalu menjadi lebih baik dari waktu ke waktu.

Bersama melodi senja yang menyemarakkan dunia, aku memanjatkan pinta pada penguasa semesta yang berkuasa atas hidup dan mati umat manusia, semoga Ayah senantiasa dalam naungan rahmat-Nya.Aku terus melihat ayah dengan sebal saat dia melambaikan tangannya pagi itu untuk berangkat berdagang sayuran di pasar. Aku benar-benar menyesal telah dilahirkan dari rahim seorang wanita berkeluarga miskin. Sekitar lima bulang lalu, ibu pergi untuk selama-lamanya. Saat kepergian ibu, sama sekali tidak ada air mata yang menetes dari mataku. Aku benar-benar benci keluarga miskin ini! ucapku dalam hati. Setelah ayah sudah berbelok, aku langsung berangkat sekolah. Bagaimanapun juga, aku tidak ingin terlihat bareng dengan pedagang sayur itu.

Di sekolah seperti biasanya. Saat istirahat aku hanya duduk diam di kelas. Aku sama sekali tidak dikasih uang jajan. Penghasilan ayah yang pas-pasan setiap harinya, hanya bisa untuk beli makan untuk di rumah saja. Bekal pun tidak ada. Aku rasa Tuhan tidak adil! Aku benar-benar muak dengan hidupku sekarang! Ingin sekali rasanya aku kabur dari rumah dan mencari keluarga baru yang kaya raya. Tapi aku rasa itu tidak mungkin. Ongkos untuk kabur pun aku tidak punya.

Saat pulang sekolah, ayah sudah pulang duluan. Kulihat ayah memandangi foto ibu yang telah usang. “Dia itu udah mati! Percuma kalo foto diliatin gitu juga nggak bakal ngebuat dia hidup lagi!” teriakku kemudian langsung masuk ke kamar dan membanting pintu kesal. Terdengar suara tangisan ayah. Tapi aku sudah tidak peduli lagi. Aku kemudian tidur sambil menutup kepalaku dengan bantal gepeng yang usang.

***

“Dasar anak tukang sayur! Udah miskin sok ngatur-ngatur lagi lo! Pergi lo dari kelompok gue!” teriak Metha, salah satu temanku, dia memang anak orang kaya. Kemudian aku pergi dari mejanya. Percuma juga jika aku meladeni bentakannya itu, yang ada teman-teman pasti akan menertawaiku karena ucapan Metha yang menjelek-jelekkanku. Aku pun tidak akan menangis dengan ucapan Metha tadi. Ucapan-ucapan seperti tadi sudah menjadi makanan sehari-hariku. Yah, beginilah kehidupanku. Penuh dengan ejekan. Semua ini karena keluargaku yang miskin! Aku benar-benar stress karena kemiskinan!

“Heh! Ganti pekerjaan kek, Bapak! Aku malu denger semua ocehan temen-temen! Mereka selalu bilang kalo aku anak tukang sayur! Aku malu, Pak! Malu!” teriakku pada ayah sepulang sekolah.

“May, udah sepuluh tahun Bapak kerja seperti ini. ini memang sudah pekerjaan Bapak, May. Mana mungkin bapak menggeluti pekerjaan lain. Bapak juga tidak punya keahlian, May. Maafkan Bapak” sahut ayah sambil menangis. Aku benci ucapan ayah itu! Bukan itu yang aku mau!

“Bodo amat! Pokoknya Bapak nggak boleh jadi tukang sayur lagi!” bentakku kemudian masuk ke kamar dan membanting pintu. Di kamar aku menangis. Meratapi nasibku ini. Kenapa buruk nasibku ini? aku benci! Aku benci semuanya!

Paginya kulihat ayah duduk di depan. Dia tidak pergi ke pasar hari ini. “Pak? Nggak jualan?” tanyaku. Ayah kemudian tersenyum padaku. “Bapak udah nggak jualan sayur, May. Kamaren kan kamu yang bilang supaya Bapak nggak jualan sayur. Sekarang Bapak jualan koran. Dan sebentar lagi juga Bapak berangkat” ucap ayah kemudian. “Ish, dasar! Maksud gue nggak usah jualan sayur, ya jangan jualan koran! Jadi insinyur kek! Biar kita kaya! Kaya raya, Pak!” bentakku kemudian. Ayah menundukkan kepalanya. Sebal melihat ayah, aku langsung pergi untuk berangkat sekolah. Kemudian ayah memegang pundakku dan menyodorkan tangannya. Aku sudah kesal dengan ayah bego itu! Aku tetap pergi tanpa salim padanya. Aku benci dia!

***

Tiga bulan kemudian, ayah berganti pekerjaan sebagai tukang koran. Sama saja! Hidupku tidak berubah sama sekali. Sama seperti dulu. Tidak dapat uang jajan, jarang makan dan tidak ada uang untuk kabur dari rumah! aku benar-benar stress ada di rumah! mau pergi juga pergi kemana? Aku sama sekali tidak ada uang. Bosan sekali aku di rumah ini!

Ayah pulang kemudian duduk di kursi sambil mengelap mukanya yang bercucuran peluh. “May, tolong ambilin Bapak minum. Bapak capek sekali, May” ucap ayah kemudian. “Heh! Enak aja nyuruh-nyuruh lo! Kalo haus, ya ambil minum sendiri! Punya kaki kan? Kalo Bapak nggak punya kaki, baru aku ambilin!” teriakku kemudian pergi meninggalkan ayah sendiri. Kemudian aku pergi keluar rumah. Aku duduk duduk di kursi depan. Sebal rasanya aku dengan ayah. Sudah miskin, sok jadi raja lagi! Minum saja minta ambilin! Punya kaki kenapa harus minta ambilin?! Dasar ayah tidak berguna! Ucapku dalam hati dengan kesalnya.

Besoknya tiba-tiba ayah pulang dengan babak belur. Ayah meringis kesakitan sambil memegang lukanya. Kemudian aku menghampirinya dan bertanya, “kenapa, Pak?”. “Bapak tadi berantem, May. Ada orang yang mengambil barang berharga punya Bapak” jawab ayah sambil meringis kesakitan. “Ish! Ngapain coba pake berantem segala?! Kayak anak kecil aja! rebutan barang lagi! Anak kecil banget tau nggak!” bentakku benar-benar sebal. Dasar orang tua! Sudah tua bukannya banyak nyari uang, malah berantem kayak anak kecil! Bentakku dalam hati. Ih! Aku benar-benar kesal dengan ayah! Sudah tua, miskin, kerjanya hanya merepotkan saja! Rasanya aku ingin cepat kabur dari rumah ini! Rumah gubug ini!

Malam harinya, terbelesit pikiran nakalku. Aku tau bagaimana cara kabur dari rumah kali ini. aku berjinjit masuk pelan ke kamar ayah. Kulihat ayah sedang duduk di kursi depan. Saat di kamar ayah, aku langsung mengobrak-abrik lemari baju ayah. Kucari-cari sesuatu itu. Dan akhirnya... ya! Aku berhasil mendapatkannya! Uang itu, uang untuk kabur itu. Aku berhasil mendapatkannya. Selamat tinggal miskin! Ucapku dalam hati sambil tertawa tidak bersuara. Kemudian kumasukan uang itu ke dalam saku baju. Aku bergegas keluar dari kamar ayah. Saat hendak keluar, tiba-tiba ayah sudah ada di depanku. Aku terkejut melihatnya.

“Kamu kenapa ke kamar Bapak?” tanya ayah padaku. Aku memikir-mikir alasan apa yang masuk akal.

“Emangnya nggak boleh apa ke kamar Bapak?! Miskin aja pake rahasia-rahasian segala! Dasar miskin!” bentakku kemudian. Aku segera masuk ke dalam kamar.

Ku hitung-hitung, uangnya berjumlah empat puluh lima ribu. Untuk apa ayah menyimpan uang sebanyak ini? dasar!. Aku berencana, nanti pagi-pagi sekali pergi dari rumah ini. niatku sudah mantab! Aku akan pergi dari kemiskinan ini! pergi dari ayah yang tidak berguna itu! Ucapku dalam hati dengan mantabnya.

Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap. Saat hendak keluar kamar, tiba-tiba ada perasaan tidak enak. Aku tidak tau kenapa begitu. Hatiku ini, seperti bilang jangan pergi. Aku takut jika nanti terjadi apa-apa dengan diriku. Setelah lama dilema, akhirnya aku putuskan untuk tidak jadi pergi dari rumah. uang ini, lebih baik aku simpan sendiri saja. Cukup untukku membeli baju. Apalagi.. sebenatar lagi hari ulangtahunku. Aku juga ingin bersenang-senang di hari ulangtahunku. Akhirnya aku menyimpan kembali uang itu. Dan tidak jadi pergi dari rumah. sangat kusesali juga. Tapi.. yasudahlah, mungkin memang ini belum waktunya untuk kabur dari rumah.

***

Seminggu kemudian, tepat di hari ulangtahunku, aku berdandan serapih mungkin. Hari ini aku akan pergi ke pasar untuk membeli baju dengan memakai uang yang ku simpan itu. Saat di perjalanan, tiba-tiba salah seorang tetanggaku menghampiriku dan berkata, “May, May tunggu! Jangan pergi dulu! Emm.. heh.. emm.. anu... Bapakmu.. heh.. Bapakmu.. kec.. kecelakaan!”. Aku terkejut dengan ucapan itu. Entah kenapa aku sedih dengan ucapan tetanggaku itu. Seharusnya aku senang karena ayah kecelakaan! Jadi tidak ada yang merepotkanku lagi. Tidak ada wajah yang menjengkelkan aku lagi. Tapi kali ini.. aku malah sedih. Saat diajak menengok ayah pun aku mengikuti. Kenapa ini? tanyaku pada diri sendiri.

Air mataku menetes saat melihat ayah terbaring di kasur rumah sakit. Lukanya ada dimana-mana. Diselimutnya, masih terbekas darah segar bekas darah ayah. Aku langsung menghampiri ayah. Air mataku terus mengalir sedih. Entah mengapa, aku kasian melihat ayah terbaring seperti ini. Memeluknya.. aku malu sekali melakukan itu. Padahal aku sangat ingin melakukan itu.

Sejam kemudian, ayah sadar. Kemudian dipanggil-panggilnya namaku. Aku pun segera menghampiri ayah. “May, coba tolong liatin kaki Bapak. Bapak merasa tidak nyaman, May. Bapak bener-bener minta tolong kali ini” pinta ayah kepadaku. Kemudian, kubuka selimut ayah dan betapa terkejutnya aku. Kaki ayah.. kaki ayah.. kaki ayah hanya tinggal sedengkul. Kaki ayah ternyata diamputasi. Ayah tidak punya kaki lagi sekarang. Air mataku kembali mengalir saat melihat keadaan kaki ayah sekarang. Tanpa malu, aku langsung memeluk ayah. Sakit hati ini memeluknya. Mengingat perlakuanku kepadanya dulu.

“May, Bapak haus. Tolong ambilkan minum untuk Bapakmu ini, Nak. Kamu sendiri yang bilang kan, jika Bapak tidak punya kaki, kamu yang akan mengambilkan minum untuk Bapak. Sekarang.. Bapak tidak punya kaki lagi, May. Tolong ambilkan minum untuk Bapak, Nak” ucap ayah menangis. Melihat ayah menangis, aku pun jadi ikut menangis. Kemudian kuambilkan minum ke meja. Hatiku kembali sakit mendengar perkataan ayah barusan. Ayah benar. Dulu aku memang pernah berkata seperti itu. Sekarang, aku benar-benar sedih mengingat kata-kataku dulu itu pada ayah.

Ayah kemudian memegang tanganku erat. Kemudian disuruhnya aku mengambil sesuatu di bawah tempat tidur ayah. Saat kulihat, ada baju disana.

“Untuk siapa ini, Pak?” tanyaku kemudian bingung.

“Itu.. untuk..mu, May. Se.. selamat ulangta... hun ya, May. Maaf se... kali karena Bapak hanya bi.. bisa memberi itu untuk... mu” jawab ayah terbata-bata. Aku kembali menangis mendengar ucapan ayah. Kemudian aku peluk ayah dengan erat. Kuucapkan terima kasih pada yah.

“Se.. sebenarnya, uang ya.. ng kamu ambil wak... tu it.. tu, mau Bapak ku.. pulkan un.. untuk membeli kado un.. untukmu, Nak. Bapak ta..u karena saat Bapak li... at lemari, u... uang itu sudah ti.. tidak ada” ucap ayah lagi. Kemudian aku merasa bersalah dengan ayah.

“Maapin aku, Pak. Aku nggak tau kalo uang itu untuk beli kado buat ulangtahunku. Maap, Pak” ucapku malu. Ayah hanya tersenyum padaku. Kemudian dipeluknya aku. Aku sangat merasa bersalah pada ayah. Kenapa aku.. bisa dengan gampangnya berlaku tidak sopan pada ayah dulu? Kelakuanku.. sama saja dengan setan! Aku pun mengumpat diriku sendiri.

Setelah beberapa jam di rumah sakit, kemudian ayah memanggilku lagi. Aku segera berdiri dari kursi tunggu dan mendekati ayah. Kemudian ayah berkata.

“Jaga dirimu baik-baik, May. Maaf karena Bapak tidak bisa menemanimu selamanya. Untuk kedepannya, Bapak akan menemani ibumu disana, May. Di tempat yang jauh itu. Bapak sudah memaafkan semua kesalahanmu. Semua kata-kata kasar darimu, May. Karena Bapak tau, kamu bersikap begitu karena Bapak juga yang hidup miskin begini. Sekarang, kamu bisa tenang tanpa Bapak, May. Bapak sangat menyayangimu. Semoga nantinya kamu bisa tumbuh sebagai wanita yang soleha, May”. Setelah berucap kemudian ayah tersenyum padaku. Sebelum akhirnya... dia memejamkan matanya dengan kedamaian.

“Bapakk!!!! Bapak!!! Jangan tinggalin May, Pak!!! Bangun, Pak!!!! May takut sendirian, Pak!!! May minta maap dengan semua kata-kata May, Pak!!!!! Bapak bangun!!!!! Bapakkkk!!!!!!” teriakku sambil menggoyang-goyangkan tubuh ayah. Tapi ayah sudah tidak mendengar teriakanku lagi. Dia tetap tertidur. Dia diam tidak bergeming. Aku menangis. Kemudian teringat kembali saat aku mengatakan kata-kata kasar kepada ayah. Ayah yang selama ini ternyata selalu menyayangiku. Ini ulangtahun terakhirku bagi ayah. Dan dihari ulangtahun ini, terakhir kalinya aku melihat ayah. Kado terakhir ini... akan aku kenang sampai aku mati. Bapak, maafkan aku, ucapku dalam hati. Tak kuasa aku menahan tangis ini. Ayah sudah tidur untuk selama-lamanya.
Pertama mendengar suara tangisanmu, sujud sukurku pada-Nya..
Pertama kali menggendongmu, hati ini begitu terasa senang..
Pertama kali melihatmu tumbuh, aku berdoa pada-Nya..
Berdoa semoga kau jadi anak yang berguna, Nak..
Semua akan ku korbankan demi dirimu..
Walau nyawaku sekalipun, akan kukorbankan untukmu..
Untuk membuatmu senang..
Melihat senyummu, sangat membuat hidupku berarti..
Melihat air matamu, membuat duniaku ikut bersedih..
Nak, isilah hari-harimu dengan senyum dan tawa..
Aku menyayangimu, anakku...

Selamanya akan tetap menyayangi dirimu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar