IBU
Bau
khas tanah yang terkena hujan langsung menyapa ku saat aku keluar dari mobil,
hujan rintik-rintik kecil cukup membasahi bajuku yang saat itu berwarna hitam
hingga membuat lingkaran kecil bekas tetes-tetes hujan itu tak terlalu tampak.
Akhirnya kami sampai di tempat tujuan kami. Hanya sedikit yang berubah saat aku
melihat bangunan di depanku ini. Coretan-coretan yang ku tulis waktu aku masih
kecil masih terdapat di salah satu sisi tembok bangunan rumah bercat hijau ini.
Bahkan, kursi kayu yang kubuat bersama ayah dulu masih tertata rapi di beranda
rumah bersama sebuah meja bundar kecil, tempat kami dulu biasa berkumpul. Hanya
saja, banyak sekali daun-daun yang mati berguguran berserakan di lantai beranda
ini dan debu-debu serta sarang laba-laba memenuhi sudut langit-langit atas.
“Brakkk”
terdengar suara sesuatu jatuh dari dalam rumah, aku langsung membuka pintu dan
ternyata hanya seekor kucing dan tikus-tikus kecil yang berkeliaran di dalam
rumah. Sungguh berubah keadaan rumah saat ini dan 6 tahun yang lalu saat aku
tinggalkan, kini rumah ini bak sebuah kapal pecah yang baru saja menghantam
sebuah karang besar, disana-sini barang-barang berserakan, patah-mematah,
bahkan hancur dimakan rayap. Sayup-sayup terdengar suara istriku yang tengah
mengobrol dengan seseorang di luar, buru-buru aku melirik dari balik jendela
dan ternyata itu adalah mbah Hirjo tetanggaku dulu yang sampai sekarang masih
tinggal di sebuah gubuk kecil di dekat rumah ini. Aku menelanjangi seluruh
bilik di rumah ini, kalau-kalau masih ada benda yang yang utuh yang masih bisa
disimpan. Lalu mataku tertuju pada sebuah kotak kecil di atas lemari tua
berwarna coklat dengan ukiran-ukiran bunga di setiap sisinya. Aneh mengapa
sebelumya aku tak pernah menemukan kotak ini. Langsung saja tanpa berpikir
panjang aku membuka kotak kecil itu, kutemukan sebuah foto yang mengingatkan ku
dengan semua masa laluku.
Peristiwa
itu terjadi pada tahun 1990an, saat itu aku berumur sembilan belas tahun, umur
yang menurutku sudah cukup untuk menjadikanku tulang punggung bagi keluargaku
dan bertanggung jawab untuk memenuhi semua kebutuhan keluargaku karena ayahku
telah meninggal dan aku adalah anak laki-laki satu-satunya di keluargaku. Sore
itu aku berencana untuk mencari ubi di kebun yang berjarak sekitar satu kilometer
dari rumahku. Aku mempersiapkan semua barang-barang yang akan kubawa, ketika
itu adik perempuanku memaksaku untuk mengajaknya
“kak aku ikut yah!” katanya sambil terengah-engah berlari
“tidak usah, kau tinggal saja disini. Disana akan berbahaya nanti kau bisa tertusuk ranting-ranting tajam”
“ayolah kak, satu kali saja” katanya memelas
“jangan, nanti jika kau ikut siapa yang akan menjaga ibu? kasihan ibu, kau tahu sendiri kan ibu sedang sakit?”
“kak aku ikut yah!” katanya sambil terengah-engah berlari
“tidak usah, kau tinggal saja disini. Disana akan berbahaya nanti kau bisa tertusuk ranting-ranting tajam”
“ayolah kak, satu kali saja” katanya memelas
“jangan, nanti jika kau ikut siapa yang akan menjaga ibu? kasihan ibu, kau tahu sendiri kan ibu sedang sakit?”
Akhirnya
dia pun mengalah dan tetap tinggal di rumah sementara aku pergi untuk mencari
ubi untuk makan malam kami nanti. Aku memilih jalan di sebelah barat rumah kami
karena jika lewat jalan itu aku bisa sampai lebih cepat namun resikonya lebih
besar karena aku harus melewati jurang-jurang dengan lantai yang licin,
terlebih pada saat itu hujan baru saja meyerbu desa kecil kami. Ditengah
perjalanan aku mendengar seseorang menjerit dari bawah, ketika kulihat ternyata
ada seorang laki-laki tua yang bergelantungan di tepi jurang, jari-jarinya
hanya memegang sebuah akar pohon, tanpa berpikir panjang aku langsung
memberikan tanganku, namun posisi kami terlampau jauh, alhasil tanganku tak
sampai untuk menggapai tangan laki-laki itu. Tak menyerah aku melepaskan bajuku
dan meberikannya kepada laki-laki itu, maksud hati agar tangan laki-laki itu
bisa meraihnya. Dan ternyata usahaku tak sia-sia aku berhasil, aku langsung
menarik laki-laki itu ke atas. Laki-laki itu sangat berterima kasih kepadaku
karena aku telah menyelamatkannya dari maut, cuaca sedang sangat tidak
bersahabat dan hujan pun kembali mengguyur desa kami, akhirnya kami berlari
untuk menemukan tempat berteduh.
Kami
berdiam sebentar di sebuah rumah tak berpenghuni, rumah ini sangat pengap dan
hanya tedapat satu ruangan di dalamnya, di sudut ruangan tedapat barang-barang
tua yang telah terbungkus debu juga sisa-sisa piring bekas makan dengan bau
sisa makanan yang menyebar di seluruh ruangan dan membuat ruangan ini semakin
pengap. Sembari menunggu hujan reda, kami mengobrol sedikit mengenai asal-usul
kami. Ternyata laki-laki yang ku tolong tadi bernama Gunawan, dia adalah
seorang pengusaha sukses dari Jakarta, dia sedang mencari rumah keluargannya
disini namun sepertinya alamat yang dipegangnya itu salah dan membuat dia
tersesat hingga ke desa ku.
Hujan
telah reda dan kami memutuskan untuk pulang, aku menunjukkan jalan keluar dari
desa kami kepada bapak Gunawan agar dia bisa pulang dengan selamat dan setelah
itu dia memberikanku beberapa helai uang namun aku menolaknya, aku selalu ingat
dengan pesan ibu untuk selalu berbuat ikhlas. Walaupun terus memaksa namun
akhirnya laki-laki itu mengalah dan mengeluarkan sebuah kartu nama dari
dompetya
“ada lowongan kerja di perusahaanku, jika kau membutuhkannya jangan sungkan-sungkan untuk datang”
Dengan senang hati aku menerima tawaran itu, entah apa yang berada di pikiranku namun meski pulang nanti aku tak membawa makanan sedikit pun tapi aku membawa kabar bahagia yang bisa membuat ibu di rumah senang. Tak bisa menunggu lama, aku berlari menuju rumahku, beberapa kali aku terjatuh hingga luka karena jalan yang licin. Namun itu tak menghentikan langkahku. Aku ingin secepatnya memberi tahu ibu tentang kabar gembira ini.
“ada lowongan kerja di perusahaanku, jika kau membutuhkannya jangan sungkan-sungkan untuk datang”
Dengan senang hati aku menerima tawaran itu, entah apa yang berada di pikiranku namun meski pulang nanti aku tak membawa makanan sedikit pun tapi aku membawa kabar bahagia yang bisa membuat ibu di rumah senang. Tak bisa menunggu lama, aku berlari menuju rumahku, beberapa kali aku terjatuh hingga luka karena jalan yang licin. Namun itu tak menghentikan langkahku. Aku ingin secepatnya memberi tahu ibu tentang kabar gembira ini.
Rasa
senang yang menggelegar di hati ini rasanya tak bisa ku pendam tatkala aku
menginjakkan kaki di rumahku ini. Dan langsung saja ku hamburkan semua rasa
gembira ini kepada ibu dan adikku di rumah. Mereka langsung memelukku dan
mendukungku untuk pergi ke Jakarta untuk bekerja mencari uang.
Hari
itu tiba, hari dimana aku pergi ke Jakarta memulai pekerjaan baruku dan meninggalkan
ibu dan adikku di rumah. Sebenarnya aku tak tega meninggalkan mereka berdua,
namun apa daya, kelak jika nanti aku telah sukses aku akan membawa ibu dan
adikku tinggal di Jakarta. Tinggal di istana megah yang selama ini telah kami
impi-impikan.
Jarak
kantor dan rumahku hanya sekitar 2 km saja, terkadang aku tak perlu melambaikan
tanganku untuk memanggil taksi, cukup dengan berjalan kaki saja tak memakan
waktu sampai 1 jam. Kadang-kadang aku pergi ke kantor bersama Gaby rekan
kerjaku sekaligus sekretaris pribadinya Pak Gunawan yang tempat tinggalnya
hanya berjarak dua blok dengan rumahku. Namun hari demi hari kami semakin dekat
dan perasaan cinta itu mulai tumbuh di antara kami berdua. Hingga suatu hari
aku memutuskan untuk mengikat tali hubungan kami ke pelaminan yang sebelumnya
telah direstui oleh kedua orang tua kami. Aku mencoba menelpon ibuku dan adikku
untuk menyuruh mereka hadir di acara pernikahan kami, ibu setuju untuk datang,
namun ibu menolak tawaranku untuk mengongkosinya kesini naik pesawat katannya
biarlah mereka naik bus saja, takut nanti ibu mabuk di pesawat dan merepotkan
saja.
Saat
hari pernikahanku pada waktu itu, ibu duduk di kursi orang tua mempelai pria,
bersama pamanku yang hadir sebagai perwakilan dari ayah, ibu terlihat sangat cantik
dengan balutan kebaya hijau dan sanggul yang melingkar di rambutnya, namun
perlahan aku sadar itu bukanlah ibu, itu adalah bibiku – istri dari pamanku -.
Nyatanya sampai sekarang aku masih belum rela mendengar kabar bahwa ibu telah
meninggal dunia dua bulan yang lalu sebelum pernikahanku karena sakit keras
yang dideritanya, namun yang aku yakin, disana ibu telah bahagia terlebih
melihat anaknya telah sukses dan menemukan cinta sejatinya.
Sayup-sayup
kudengar istriku sedang mengobrol di luar bersama seorang perempuan,
samar-samar kulihat wanita itu dari jauh, wajahnya bayang-bayang karena air
mata yang masih menggumpal di mata ini, ternyata itu adalah bik Masni istrinya
mbah Hirjo. Dari jauh kulihat dia tersenyum kepadaku dan aku pun membalas
senyumannya.
@dwieka 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar